Senin, 08 September 2014

BIOGRAFI SASTRAWAN

 

Ayu Utami yang  nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartina. Ia berasal dari keluarga Katolik.
Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994). Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995)  dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999).  Ayu menggemari cerita petualangan,  seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin.  Selain itu,  ia  menyukai  musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia model.
Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang memasok senjata dan bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia jurnalistik dan  bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R.  Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif  menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator.  Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi.
Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel pertama yang ditulisnya adalah  Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di Jurnal Kalam. Karyanya yang lain, Larung, yang merupakan dwilogi novelnya, Saman dan Larung, juga mendapat
banyak perhatian dari pembaca.
KARYA-KARYA Ayu Utami:
a. Novel Ayu Utami
    1. Saman  (1998)
    2.  Larung (2001)
    3. Bilangan Fu (2008)
    4. Manjali dan Cakrabirawa (2010)
b. Kumpulan Esai
   Si Parasit Lajang (2003)
c. Biografi
    1. Cerita Cinta Enrico (2012)
    2. Soegija: 100% Indonesia (2012)
Penghargaan
1. Pemenang  Sayembara Penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta tahun
    1998 untuk novelnya Saman
2. Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di
    Den Haag, tahun 2000
3. Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008 untuk novelnya Bilangan Fu





Biografi Sastrawan Adinegoro
Adinegoro lahir di Talawi, Sumatera Barat, pada tanggal 14 Agustus 1904. Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah.

Adinegoro terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di Stovia ia tidak diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Dengan demikian, dipakainyalah nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru. Ia pun dapat menyalurkan keinginannya untuk memublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.

Pendidikan Sastrawan Adinegoro
Adinegoro sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman Timur. Ia mendalami masalah jurnalistik di negara itu. Selain itu, ia juga mempelajari masalah kartografi, geografi politik, dan geopolitik. Pengalaman belajar di Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di bidang jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal sebagai wartawan daripada sastrawan.
Ia memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai pembantu tetap. Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di majalah tersebut. Ketika belajar di luar negeri (1926—1930), ia juga menjadi wartawan bebas (freelance journalist) di surat kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Jakarta). Setelah kembali ke tanah air, Adinegoro memimpin majalah Panji Pustaka (pada tahun 1931. Akan tetapi, ia tidak bertahan lama, hanya enam bulan. Sesudah itu, ia memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932—1942). Ia juga pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun. Kemudian, bersama Prof. Dr. Supomo, ia memimpin majalah Mimbar Indonesia (1948—1950). Selanjutnya, ia memimpin Yayasan Persbiro Indonesia (1951). Terakhir, ia bekerja di Kantor Berita Nasional (kemudian menjadi KBN Antara). Sampai akhir khayatnya Adinegoro mengabdi di kantor berita tersebut.
Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya ditulis pada tahun 1928), yang membuat namanya sejajar dengan nama novelis besar Indonesia, adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982) mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya, Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu (yang dijalankan oleh pihak kaum tua).
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga membuat novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan itu diterbitkan pada tahun 1930.

Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang dieditori oleh Achdiat Karta Mihardja (1977). Dalam esainya itu. Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tidak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan sebaliknya.
KARYA Sastrawan Adinegoro:
a. Novel

1. Darah Muda (Batavia Centrum: Balai Pustaka, 1931)

2. Asmara Jaya (Batavia Centrum: Balai Pustaka, 1932)

3. Melawat ke Barat (Jakarta: Balai Pustaka, 1950)
b. Cerita Pendek

1. “Bayati es Kopyor” (Varia, No. 278, Th. Ke-6. 1961)

2. “Etsuko” (Varia, No. 278, Th. Ke-6, 1961)
3. “Lukisan Rumah Kami” (Djaja,  No. 83, Th. Ke-2, 1963)

4. “Nyanyian Bulan April” (Varia,  No. 293, Th. Ke-6, 1963)