Ayu Utami yang nama lengkapnya Justina Ayu Utami
dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama.
Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes
Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartina. Ia berasal dari keluarga
Katolik.
Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari
Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994). Ia juga pernah sekolah Advanced
Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995) dan Asian Leadership
Fellow Program, Tokyo, Japan (1999). Ayu menggemari cerita
petualangan, seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin. Selain
itu, ia menyukai musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu
mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan
kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia model.
Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan
yang memasok senjata dan bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public
relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia jurnalistik dan bekerja sebagai
wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R. Ketika menjadi wartawan,
ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif menulis
kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut mendirikan Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat
kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator. Ia
anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi.
Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu
kemudian menulis novel. Novel pertama yang ditulisnya adalah Saman
(1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus
sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia sastra
Indonesia. Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan
Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam
setahun. Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan
warna baru dalam sastra Indonesia. Karyanya yang berupa esai kerap
dipublikasikan di Jurnal Kalam. Karyanya yang lain, Larung, yang merupakan
dwilogi novelnya, Saman dan Larung, juga mendapat
banyak perhatian dari pembaca.
KARYA-KARYA Ayu Utami:
a. Novel Ayu Utami
1. Saman (1998)
2. Larung (2001)
3. Bilangan Fu (2008)
4. Manjali dan Cakrabirawa (2010)
b. Kumpulan Esai
Si Parasit Lajang (2003)
c. Biografi
1. Cerita Cinta Enrico (2012)
2. Soegija: 100% Indonesia (2012)
Penghargaan
a. Novel Ayu Utami
1. Saman (1998)
2. Larung (2001)
3. Bilangan Fu (2008)
4. Manjali dan Cakrabirawa (2010)
b. Kumpulan Esai
Si Parasit Lajang (2003)
c. Biografi
1. Cerita Cinta Enrico (2012)
2. Soegija: 100% Indonesia (2012)
Penghargaan
1. Pemenang Sayembara Penulisan Roman Terbaik
Dewan Kesenian Jakarta tahun
1998 untuk novelnya Saman
2. Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di
Den Haag, tahun 2000
3. Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008 untuk novelnya Bilangan Fu
1998 untuk novelnya Saman
2. Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di
Den Haag, tahun 2000
3. Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008 untuk novelnya Bilangan Fu
Biografi
Sastrawan Adinegoro
Adinegoro
lahir di Talawi, Sumatera Barat, pada tanggal 14 Agustus 1904. Nama aslinya
sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia
adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain
ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama
Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah.
Adinegoro terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di Stovia ia
tidak diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat
tinggi. Dengan demikian, dipakainyalah nama samaran Adinegoro tersebut sebagai
identitasnya yang baru. Ia pun dapat menyalurkan keinginannya untuk
memublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah
Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai
sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.
Pendidikan
Sastrawan Adinegoro
Adinegoro
sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman Timur. Ia
mendalami masalah jurnalistik di negara itu. Selain itu, ia juga mempelajari
masalah kartografi, geografi politik, dan geopolitik. Pengalaman belajar di
Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di
bidang jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal sebagai wartawan daripada
sastrawan.
Ia
memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai
pembantu tetap. Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di
majalah tersebut. Ketika belajar di luar negeri (1926—1930), ia juga menjadi
wartawan bebas (freelance journalist) di surat kabar Pewarta
Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Jakarta).
Setelah kembali ke tanah air, Adinegoro memimpin majalah Panji Pustaka (pada
tahun 1931. Akan tetapi, ia tidak bertahan lama, hanya enam bulan. Sesudah itu,
ia memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932—1942). Ia
juga pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun.
Kemudian, bersama Prof. Dr. Supomo, ia memimpin majalah Mimbar Indonesia (1948—1950).
Selanjutnya, ia memimpin Yayasan Persbiro Indonesia (1951). Terakhir, ia
bekerja di Kantor Berita Nasional (kemudian menjadi KBN Antara). Sampai akhir
khayatnya Adinegoro mengabdi di kantor berita tersebut.
Dua
buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya ditulis pada tahun 1928), yang
membuat namanya sejajar dengan nama novelis besar Indonesia, adalah Asmara
Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar
Sejarah Sastra Indonesia (1982) mengatakan bahwa Adinegoro merupakan
pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang
berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya, Adinegoro bukan hanya menentang
adat kuno, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang
menentang adat kuno itu (yang dijalankan oleh pihak kaum tua).
Di
samping kedua novel itu, Adinegoro juga membuat novel lainnya, yaitu Melawat
ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan itu
diterbitkan pada tahun 1930.
Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar
tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul
“Kritik atas Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang
dieditori oleh Achdiat Karta Mihardja (1977). Dalam esainya itu. Adinegoro
beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena tiap
bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tidak dapat ditiru oleh
orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon
rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan sebaliknya.
KARYA Sastrawan Adinegoro:
a. Novel
1. Darah Muda (Batavia Centrum: Balai Pustaka, 1931)
2. Asmara Jaya (Batavia Centrum: Balai Pustaka, 1932)
3. Melawat ke Barat (Jakarta: Balai Pustaka, 1950)
b. Cerita Pendek
1. “Bayati es Kopyor” (Varia, No. 278, Th. Ke-6. 1961)
2. “Etsuko” (Varia, No. 278, Th. Ke-6, 1961)
3.
“Lukisan Rumah Kami” (Djaja, No. 83, Th. Ke-2, 1963)
4. “Nyanyian Bulan April” (Varia, No. 293, Th. Ke-6, 1963)