TEKNIK
BERPIDATO
Seorang
pecinta tulisan saya di sebuah rubrik koran lokal melontarkan pertanyaan
bagaimana mengatasi grogi pada saat bicara di depan umum (publik)? Meski ia
sudah mempersiapkannya sebaik mungkin tetap saja grogi. Masalah grogi adalah
masalah yang dialami oleh siapa saja yang sedang belajar bicara di depan publik
(selanjutnya saya sebut bicara). Keterampilan ini adalah keterampilan proses,
sebuah keterampilan yang tidak datang seketika. Artinya, bila ingin mengusainya
diperlukan banyak berlatih dan berlatih.
Untuk
mengupas masalah grogi dan cara mengatasinya saya akan menggunakan dua
pendekatan. Pendekatan pertama saya menggunakan pendekatan neurologisyakni
bagaimana pikiran kita mencerna “keberadaan publik” (audience); dan pendekatan
kedua adalah pendekatan praktis yakni bagaimana kiat-kiat praktis menghadapi
grogi. Setidaknya, dua pendekatan itu sudah saya praktikkan dalam hidup saya.
Saya dulu yang pemalu luar biasa (bayangkan dulu saya tidak berani bilang
“Kiri”pada saat naik bus/angkutan umum. Takut/malu kalau banyak orang yang
nengok ke arah saya). Kini saya sudah terbiasa bicara di depan publik, bahkan
menjadi pembicara publik dan motivator yang dibayar.
Baik,
selanjutnya saya jelaskan pendekatan pertama, kenapa secara neurologis(syaraf
otak) seseorang bisa menjadi grogi. Seseorang menjadi grogi atau bahkan
sebaliknya menjadi senang bila di depan publik itu sangat tergantung bagaimana
syaraf otak merespon atau menanggapi sesuatu yang berada di luar, yaitu –dalam
hal ini– audience (publik). Perilaku (grogi, takut, senang dan lain-lain)
merupakan hasil dari respon pikiran kita. Kalau kita merespon/menanggapi
sesuatu di luar adalah sesuatuyang menakutkan, maka pikiran (syaraf) segera
mengolahnya menjadi sebuah ketakutan. Sebaliknya, kalau kita meresponnya
sesuatu yang menyenangkan, maka semua sel-sel dan jutaan syaraf segera
mengolahnya menjadi hal yangmenyenangkan.
Lebih
kongkritnya begini. Kalau Anda membayangkan jeruk nipis (sesuatu yangberada di
luar Anda) terasa kecut, maka syaraf otak segera membayangkannya rasa kecut
itu. Bahkan dengan hanya membayangkan saja air liur bisa keluar sebagai respon
terhadapnya. Sebaliknya, kalau Anda membayangkan buah anggur yang segar, baru
keluar dari kulkas, syaraf otak segera membayangkannya buah manis yang
menyegarkan. Begitulah cara pikiran kita bekerja, atau meresponnya. Bila Anda
menanggapinya dengan negatif maka pikiran bekerja dengan cara negatif, milyaran
sel syaraf bekerja untuk memperkuat respon negatif Anda. Bila Anda meresponnya
dengan cara positif, maka seluruh jaringan syaraf bekerja sekuat tenaga untuk
memperkuat respon positif Anda.
Audience
(publik) bukanlah buah jeruk nispis yang kecut atau buah angguryang manis
menyegarkan. Audience adalah sesutau yang netral sifatnya.”Manis” dan
“kecut”-nya, arau “menakutkan” (yang membuat Anda grogi) atau”menyenangkan”
sangat tergantung bagaimana Anda meresponnya. Ketika Anda meresponnya sebagai
seuatu yang “menakutkan” syaraf otak segera bekerja dengan cara yang negatif.
Hasilnya mejadi negatif. Syaraf otak segera bekerja untuk menemukan sejumlah
alasan negatif untuk meyakinkan bahwa audience itu “menakutkan”.
Alasan-alasan
yang ditemukan oleh pikiran negatif berupa:
1) audience terlalu banyak dan banyak orang yang sudah pintar bicara, maka saya kurang pede; 2) audience akan meneriaki “huuuuuuu..?” bila saya salah;
3) audience akan mempergunjingkan saya bila saya salah;
4) saya akan malu bila apa yang saya sampaikan tidak menarik;
5) saya akan malu bila saya salah dalam bicara nanti dan;
6) masih banyak alasan negatif yang mengantarkan Anda menjadi semakin tidak percaya diri atau grogi. Hasilnya, keringat dingin keluar, gemetar, bicara tidak lancar dan salah-salah terus selama bicara. Pada saat seperti itu, pikiran sibuk memikirkan audience yang “menakutkan” ketimbang memimikirkan materi yang sedang di sampaikan.
1) audience terlalu banyak dan banyak orang yang sudah pintar bicara, maka saya kurang pede; 2) audience akan meneriaki “huuuuuuu..?” bila saya salah;
3) audience akan mempergunjingkan saya bila saya salah;
4) saya akan malu bila apa yang saya sampaikan tidak menarik;
5) saya akan malu bila saya salah dalam bicara nanti dan;
6) masih banyak alasan negatif yang mengantarkan Anda menjadi semakin tidak percaya diri atau grogi. Hasilnya, keringat dingin keluar, gemetar, bicara tidak lancar dan salah-salah terus selama bicara. Pada saat seperti itu, pikiran sibuk memikirkan audience yang “menakutkan” ketimbang memimikirkan materi yang sedang di sampaikan.
Akan menjadi
berbeda hasilnya bila Anda meresponnya secara positif. Pikran Anda akan segera
mencarikan sejumlah alasan positif yang menguatkanAnda tampil lebih percaya
diri. Anda akan tampil lebih percaya diri bila memandang audience sebagai:
1) sekelompok manusia yang sedang memberikan kesempatan baik pada Anda untuk bicara;
2) mereka tidak akan menghukum bila Anda keliru;
3) keliru dalam berlatih bicara adalah hal yang wajar yang dialami oleh setiap orang;
4) mereka juga belum tentu memiliki keberanian untuk bicara;
5) kalau pun ia diberi kesempatan bicara ia pasti melakukan kesalahanseperti Anda;
6) dalam sejarah belum ada audience yang “mencemooh” pembicara bila dalam menyampaikannya secara santun dan;
7) ini adalah kesempatan terbaik untuk berlatih bicara. Dengan kata lain, audiene bukan menjadi beban pikiran selama Anda bicara. Bila perlu Anda cuek-bebek (tapi sopan) selama bicara.
1) sekelompok manusia yang sedang memberikan kesempatan baik pada Anda untuk bicara;
2) mereka tidak akan menghukum bila Anda keliru;
3) keliru dalam berlatih bicara adalah hal yang wajar yang dialami oleh setiap orang;
4) mereka juga belum tentu memiliki keberanian untuk bicara;
5) kalau pun ia diberi kesempatan bicara ia pasti melakukan kesalahanseperti Anda;
6) dalam sejarah belum ada audience yang “mencemooh” pembicara bila dalam menyampaikannya secara santun dan;
7) ini adalah kesempatan terbaik untuk berlatih bicara. Dengan kata lain, audiene bukan menjadi beban pikiran selama Anda bicara. Bila perlu Anda cuek-bebek (tapi sopan) selama bicara.
Ketika Anda
telah mengusai audience dengan cara respon positif sepertitersebut di atas,
pikiran Anda tinggal fokus pada materi. Perlu dicatat bahwa mengapa seorang
pembicara grogi karena pikirannya selamabicara sibuk memikirkan audiencenya
yang dianggap “menakutkan”. Menakutkan atau tidaknya sangat tergantung
bagaimana pikiran kita “menafsirkannya”.Bila menafsirkannya sebagai hal yang
tidak menakutkan, maka pikiran akan lancar, fokus pada topik, bicara pun lancar
tanpa beban grogi.
Semua yang
saya jelaskan di atas adalah mengunakan pendekatan neurologis. Selanjutnya saya
menggunakan pendekatan praktis dalam mengatasi grogi. Sebelum saya memberikan
tips bagaimana cara mengatsi grogi saat pidato perlu saya ingatkan kembali
bahwa keterampilan bicara (pidato) adalah keterampilan proses. Tidak ada orang
yang langsung menjadi ahli bicara. Semuanya diawali dari malu, gemetar dengan
keringat dingin, grogi dan sejuta rasa lainnya. Jangankan bagi yang belum
pernah pengalaman, seorang yang sudah pengalaman pun kadang- kadang masih
dihinggapi rasa kurang pede dan grogi. Jadi kalau menuggu sampai tidak ada rasa
grogi, dibutuhkan waktu dan jam terbang yang lama. Butuh proses.
Cara-cara
berikut ini adalah cara praktis yang saya gunakan bagaimanamengatasi grogi.
1. Tingkatkan rasa percaya diri (pede). Kalau kita pede, keberanian meningkat, tetapi kalau belum apa-apa sudah takut dulu, rasa pede mengecil. Akibatnya sudah grogi dulu sebelum bicara. Untuk bisa meningkatkan rasa pede, coba sebelum Anda bicara, Anda membayangkan seorang tokoh pintar bicara yang menjadi idola Anda. Setelah membayangkan secara jelas, anggap saja dia merasuk dalam jiwa Anda yang membantu Anda pada saat bicara. Anggap saja dia yang bicara, tapi bukan Anda.
2. Berani bicara kapan dan dimana saja bila ada kesempatan tampil didepan umum. Jangan takut salah dan takut ditertawakan, bicara dan bicaralah.Kalau Anda tidak pernah mencobanya, maka tidak pernah punya pengalaman. Jangan berpikir, benar-salah, bagus-tidak, mutu-tidak, selama bicara. Pokoknya, Anda sedang uji nyali, berani atau tidak. Ketika Anda berani mencobanya, berarti nyali Anda hebat. Semakin sering Anda lakukan, semakin kuat nyalinya dan tidak takut lagi. Pokoknya Anda harus berani malu. 3. Mulailah dari kelompok kecil. Berlatihlah bicara pada kelompok-kelompok kecil dulu seperti karang taruna, kelompok belajar, pertemuan RT/RW. Bicaralah sebisanya dan jangan buang kesempatan. Yang seperti ini sudah saya lakukan, saya mulai dari kelompok belajar, panitia seminar, dan acara-acara pengajian. Lama-kelamaan saya biasa. Ingat Anda bisa karena biasa.
4. Tulis dulu sebagai persiapan. Sebelum bicara, alangkah baiknya ditulis dulu topik dan urutan penyampaiannya. Sebab, tanpa ditulis dulu, biasanya lupa saat bicara dan menjadikan materinya tidak runtut.
1. Tingkatkan rasa percaya diri (pede). Kalau kita pede, keberanian meningkat, tetapi kalau belum apa-apa sudah takut dulu, rasa pede mengecil. Akibatnya sudah grogi dulu sebelum bicara. Untuk bisa meningkatkan rasa pede, coba sebelum Anda bicara, Anda membayangkan seorang tokoh pintar bicara yang menjadi idola Anda. Setelah membayangkan secara jelas, anggap saja dia merasuk dalam jiwa Anda yang membantu Anda pada saat bicara. Anggap saja dia yang bicara, tapi bukan Anda.
2. Berani bicara kapan dan dimana saja bila ada kesempatan tampil didepan umum. Jangan takut salah dan takut ditertawakan, bicara dan bicaralah.Kalau Anda tidak pernah mencobanya, maka tidak pernah punya pengalaman. Jangan berpikir, benar-salah, bagus-tidak, mutu-tidak, selama bicara. Pokoknya, Anda sedang uji nyali, berani atau tidak. Ketika Anda berani mencobanya, berarti nyali Anda hebat. Semakin sering Anda lakukan, semakin kuat nyalinya dan tidak takut lagi. Pokoknya Anda harus berani malu. 3. Mulailah dari kelompok kecil. Berlatihlah bicara pada kelompok-kelompok kecil dulu seperti karang taruna, kelompok belajar, pertemuan RT/RW. Bicaralah sebisanya dan jangan buang kesempatan. Yang seperti ini sudah saya lakukan, saya mulai dari kelompok belajar, panitia seminar, dan acara-acara pengajian. Lama-kelamaan saya biasa. Ingat Anda bisa karena biasa.
4. Tulis dulu sebagai persiapan. Sebelum bicara, alangkah baiknya ditulis dulu topik dan urutan penyampaiannya. Sebab, tanpa ditulis dulu, biasanya lupa saat bicara dan menjadikan materinya tidak runtut.
Ada dua cara
dalam menulis, menulis lengkap kemudian tinggal membaca atau tulis
pokok-pokonya saja. Bila Anda menulis lengkap akan sangat membantu Anda bicara,
tetapi keburukannya membosankan. Apalagi intonasi bacanya jelek.Yang baik
adalah pokok- pokok saja, kemudian Anda menguraiakannya saat bicara, tetapi
keburukannya, Anda bisa lupa tentang datailnya.
5. Akan
lebih baik kalau memiliki kebiasaan menulis. Menulis apa saja,cerita, artikel,
surat atau catatan harian. Catatan harian akan sangatmembantu. Kenapa menulis?
Karena dengan menulis adalah cara efektif untukmembuat sebuah “bangunan
logika”, sebuah bangunan yang masuk akal. Bila Anda terbiasa menuliskan
topik-topik yang masuk akal, maka akan membantu pada saat bicara. Tinggal
memanggil ulang saja.
6. Perbanyak
membaca. Orang bicara atau menulis, tidak lepas dari kegiatan membaca. Dengan
banyak membaca menjadi banyak pengetetahuan yang dapat dijadikan acuan pada
saat bicara atau menulis. Kebuntuan dalam bicara terjadi karena tidak saja
grogi tetepi juga karena terbatasnya acuan(informasi) yang dimilikinya.
7. Janganlah
menjadi pendiam saat ada diskusi atau debat. Bicaralah, jangan pikirkan Anda
menang atau kalah dalam berdebat, tetapijadikannlah media debat menjadi media
pembelajaran dalam mengasahketerampilan bicara. Juga, biasakanlah berdsiskusi,
jangan hanya menjadi pendengar yang baik (diam saja) tapi Anda harus menjadi
pembicara yang baik.
8. Rajin
mengevaluasi diri sehabis bicara. Karena berbicara merupakan keterampilan
proses, maka sebaiknya rajin mengevaluasi diri setiap saat sehabis bicara.
Seringkali (pengalaman saya) saya merasa tidak puas dengan hasil akhir bicara.
Selalu ada saja kekurangannya, banyak topik yang lupa tidak tersampaikan.
Kekurangan ini harus menjadi catatan untuk tampil lebih baik pada kesempatan
mendatang.
9. Komitmen
untuk terus berlatih. Tiada sukses tanpa latihan terus menerus. Tiada juara
tanpa banyak latihan. Tiada bicara tanpa grogi bila hanya tampil (berlatih)
satu atau dua kali saja. Bicaralah saat adakesempatan bicara, karena
keterampilan berbicara hanya dapat diperoleh dengan “berbicara” bukan dengan
cara “belajar tentang”. Satu ons praktik bicara lebih baik dari pada satu ton
teori berbicara. Selamat mencoba.
CARA
BERDEKLAMASI
Seperti
telah dijelaskan bahawa berdeklamasi itu membawakan pantun, syair dan sajak
atau puisi. Kemudian apakah cukup hanya asal membawakan sahaja? Tentu tidak!
Berdeklamasi, selain kita mengucapkan sesuatu, haruslah pula memenuhi
syarat-syarat lainnya. Apakah syarat-syarat itu? Sebelum kita berdeklamasi,
kita harus memilih dulu pantun, syair, sajak apa, yang rasanya baik untuk
dideklamasikan. Terserah kepada keinginan masing-masing.
Yang penting pilihlah sajak atau puisi, pantun atau syair yang memiliki isi yang baik dan bentuk yang indah dideklamasikan. Mengenai hal isi tentunya dapat minta nasihat, petunjuk dan bimbingan daripada mereka yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan atau ahli dalam bidang deklamasi.
Yang penting pilihlah sajak atau puisi, pantun atau syair yang memiliki isi yang baik dan bentuk yang indah dideklamasikan. Mengenai hal isi tentunya dapat minta nasihat, petunjuk dan bimbingan daripada mereka yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan atau ahli dalam bidang deklamasi.
Kalau kita
sudah memilih sebuah puisi misalnya, tentu saja boleh lebih dari sebuah. Hal
ini sering terjadi dalam sayembara yang dikira harus terdiri puisi wajib dan
puisi pilihan. Nah, sesudah itu, lalu apa lagi yang harus kita perbuat? Maka
tidak boleh tidak harus mentafsirnya terlebih dahulu. MENAFSIR PUISI
Apakah puisi
yang kita pilih itu berunsur kepahlawanan, keberanian, kesedihan, kemarahan,
kesenangan, pujian dan lain-lain? Kalau puisi yang kita pilih itu mengandung
kepahlawanan, keberanian dan kegagahan, maka kitapun harus mendeklamasikan
puisi tersebut dengan perasaan dan laku perbuatan, yang menunjukkan seorang
pahlawan, seorang yang gagah berani. Kita harus dapat melukiskan kepada orang
lain, bagaimana kehebatan dan kegagahan kapal udara itu. Bagaimana harus
mngucapkan kata-kata yang seram dan menakutkan.
Sebaliknya kalau saja puisi yang kita pilih itu mengadung kesedihan, sewaktu kita berdeklamasi haruslah betul-betul dalam suasana yang sedih dan memilukan, bahkan harus bisa membuat orang menangis bagi orang yang mendengar dan melihat kita sedih, ketika dideklamasikan menjadi sebuah puisi yang gembira, bersukaria atau sebaliknya. Tentu saja hal-hal seperti itu harus dijaga benar-benar. Kerana itu, harus berhati-hati, teliti, tenang dan sungguh-sungguh dalam menafsir sebuah puisi.
Sebaliknya kalau saja puisi yang kita pilih itu mengadung kesedihan, sewaktu kita berdeklamasi haruslah betul-betul dalam suasana yang sedih dan memilukan, bahkan harus bisa membuat orang menangis bagi orang yang mendengar dan melihat kita sedih, ketika dideklamasikan menjadi sebuah puisi yang gembira, bersukaria atau sebaliknya. Tentu saja hal-hal seperti itu harus dijaga benar-benar. Kerana itu, harus berhati-hati, teliti, tenang dan sungguh-sungguh dalam menafsir sebuah puisi.
Bacalah
seluruh puisi itu berulang-ulang sampai kita mengerti betul apa-apa yang
dikandung dan dimaksud oleh puisi tersebut. Juga kata-kata yang sukar dan
tanda-tanda baca yang kurang jelas harus difahami benar-benar, Jika sudah
dimengerti dan diselami isi puisi itu, barulah kita meningkat ke soal yang
lebih lanjut.
MEMPELAJARI
ISI UNTUK MENDEKLAMASI PUISI
Cara mengucapkan puisi itu tak boleh seenaknya saja, tapi harus tunduk kepada aturan-aturannya: di mana harus ditekankan atau dipercepatkan, di mana harus dikeraskan, harus berhenti, dimana harus dilambatkan atau dilunakkan, di mana harus diucapkan biasa dan sebagainya. Jadi, bila kita mendeklamasikan puisi itu harus supaya menarik, maka harus dipakai tanda-tanda tersendiri:
——- Diucapkan biasa saja
/ Berhenti sebentar untuk bernafas/biasanya pada koma atau di tengah baris
// Berhenti agak lama/biasanya koma di akhir baris yang masih berhubungan artinya dengan baris berikutnya
/// Berhenti lama sekali biasanya pada titik baris terakhir atau pada penghabis san puisi
^ Suara perlahan sekali seperti berbisik
^^ Suara perlahan sahaja
^^^ Suara keras sekali seperti berteriak
V Tekanan kata pendek sekali
VV Tekanan kata agak pendek
VVV Tekan kata agak panjang
VVVV Tekan kata agak panjang sekali
____/ Tekanan suara meninggi
____ Tekanan suara agak merendah
\
Cara meletakkan tanda-tanda tersebut pada setiap kata masing-masing orang berbeda tergantung kepada kemahuannya sendiri-sendiri. Dari sinilah kita dapat menilai: siapa orang yang mahir dan pandai berdeklamasi.
Cara mengucapkan puisi itu tak boleh seenaknya saja, tapi harus tunduk kepada aturan-aturannya: di mana harus ditekankan atau dipercepatkan, di mana harus dikeraskan, harus berhenti, dimana harus dilambatkan atau dilunakkan, di mana harus diucapkan biasa dan sebagainya. Jadi, bila kita mendeklamasikan puisi itu harus supaya menarik, maka harus dipakai tanda-tanda tersendiri:
——- Diucapkan biasa saja
/ Berhenti sebentar untuk bernafas/biasanya pada koma atau di tengah baris
// Berhenti agak lama/biasanya koma di akhir baris yang masih berhubungan artinya dengan baris berikutnya
/// Berhenti lama sekali biasanya pada titik baris terakhir atau pada penghabis san puisi
^ Suara perlahan sekali seperti berbisik
^^ Suara perlahan sahaja
^^^ Suara keras sekali seperti berteriak
V Tekanan kata pendek sekali
VV Tekanan kata agak pendek
VVV Tekan kata agak panjang
VVVV Tekan kata agak panjang sekali
____/ Tekanan suara meninggi
____ Tekanan suara agak merendah
\
Cara meletakkan tanda-tanda tersebut pada setiap kata masing-masing orang berbeda tergantung kepada kemahuannya sendiri-sendiri. Dari sinilah kita dapat menilai: siapa orang yang mahir dan pandai berdeklamasi.
Demikianlah,
setelah tanda-tanda itu kita letakkan dengan baik dan dalam meletakkannya
jangan asal meletakkan saja, tapi harus memakai perasaan dan pertimbangan,
seperti halnya kalau kita membaca berita: ada koma, ada titik, tanda-tandanya,
titik koma dan lain-lain.
Kalau tanda-tanda itu sudah diletakkan dengan baik, barulah kita baca puisi tersebut berulang-ulang sesuai dengan irama dan aturan tanda itu. Dengan sendirinya kalau kita sudah lancar benar, tekanan-tekanan, irama-irama dan gayanya takkan terlupa lagi selama kita berdeklamasi.
Kalau tanda-tanda itu sudah diletakkan dengan baik, barulah kita baca puisi tersebut berulang-ulang sesuai dengan irama dan aturan tanda itu. Dengan sendirinya kalau kita sudah lancar benar, tekanan-tekanan, irama-irama dan gayanya takkan terlupa lagi selama kita berdeklamasi.
PUISI HARUS
DIHAFAL
Mendeklamasi itu ialah membawakan puisi yang dihafal. Memang ada juga orang berdeklamasi puisi di atas kertas saja. Cara seperti itu kurang enak kecuali jika untuk siaran pembacaan puisi di radio atau rakaman. Tetapi deklamasi itu selalu saja didengar dan ditonton orang. Mana mungkin para penonton akan senang, melihat kita berdeklamasi kalau muka kita tertunduk melulu terus menerus kala mendeklamasikan puisi itu. Tentu saja membosankan bukan?
Mendeklamasi itu ialah membawakan puisi yang dihafal. Memang ada juga orang berdeklamasi puisi di atas kertas saja. Cara seperti itu kurang enak kecuali jika untuk siaran pembacaan puisi di radio atau rakaman. Tetapi deklamasi itu selalu saja didengar dan ditonton orang. Mana mungkin para penonton akan senang, melihat kita berdeklamasi kalau muka kita tertunduk melulu terus menerus kala mendeklamasikan puisi itu. Tentu saja membosankan bukan?
Makanya
sebaik mungkin deklamator harus menghafal puisi yang mahu dideklamasi itu. Caranya
ulangilah puisi itu berkali-kali tanpa mempergunakan teks, sebab jika tidak
demikian di saat kita telah naik pentas, kata-kata dalam puisi itu tak teringat
atau terputus-putus.
Betapa lucunya seorang deklamator, ketika dengan gaya yang sudah cukup menarik di atas panggung, di muka penonton yang ramai, tiba-tiba ia lupa pada kalimat-kalimat dalam puisi. Ia seperti terhenti, terpukau, mau bersuara tak tentu apa yang harus diucapkan. Mau mengingat-ingat secara khusuk terlalu lama. Menyaksikan keadaan demikian itu sudah tentu para penonton akan kecewa. Bagi sideklamator sendiri akan mendapat malu. Oleh kerana itu dihafalkanlah puisi itu sebaik-baiknya sampai terasa lancar sekali. Setelah dirasakan yakin, bahawa sebuah puisi telah sanggup dibaca di luar kepala, barulah berlatih mempergunakan mimik atau “action”
Betapa lucunya seorang deklamator, ketika dengan gaya yang sudah cukup menarik di atas panggung, di muka penonton yang ramai, tiba-tiba ia lupa pada kalimat-kalimat dalam puisi. Ia seperti terhenti, terpukau, mau bersuara tak tentu apa yang harus diucapkan. Mau mengingat-ingat secara khusuk terlalu lama. Menyaksikan keadaan demikian itu sudah tentu para penonton akan kecewa. Bagi sideklamator sendiri akan mendapat malu. Oleh kerana itu dihafalkanlah puisi itu sebaik-baiknya sampai terasa lancar sekali. Setelah dirasakan yakin, bahawa sebuah puisi telah sanggup dibaca di luar kepala, barulah berlatih mempergunakan mimik atau “action”
Cara
menghafal tentu saja dengan cara mengingatnya sebaris demi sebaris dan kemudian
serangkap demi serangkap disamping berusaha untuk mengerti setiap kata/ayat
yang dicatatkan kerana hal itu menjadi jelasnya maksud dan tujuan isi puisi
itu. DEKLAMASI
BUKAN UCAPAN
SEMATA
Deklamasi bukan ucapan semata. Deklamasi harus disertai gerak-gerak muka, kalau perlu dengan gerak seluruh anggota badan atau seluruh tubuh, tetapi yang paling penting sekali ialah gerak-gerak muka. Dengan ucapan-ucapan yang baik dan teratur, diserta dengan gerak geri muka nescaya akan bertambah menarik, apa lagi kalau ditonton. Dari gerak geri muka itu penonton dapat merasakan dan menyaksikan mengertikan puisi yang dideklamasikan itu. Apakah puisi itu mengandung kesedihan, kemarahan, kegembiraan dan lain-lain.
Hanya saja dalam melakukan gerak geri itu jangan sampai berlebih-lebihan seperti wayang orang yang bergerak ke sana ke mari, sehingga mengelikan sekali. Berdeklamasi secara wajar, tertib dan mengesankan.
Deklamasi bukan ucapan semata. Deklamasi harus disertai gerak-gerak muka, kalau perlu dengan gerak seluruh anggota badan atau seluruh tubuh, tetapi yang paling penting sekali ialah gerak-gerak muka. Dengan ucapan-ucapan yang baik dan teratur, diserta dengan gerak geri muka nescaya akan bertambah menarik, apa lagi kalau ditonton. Dari gerak geri muka itu penonton dapat merasakan dan menyaksikan mengertikan puisi yang dideklamasikan itu. Apakah puisi itu mengandung kesedihan, kemarahan, kegembiraan dan lain-lain.
Hanya saja dalam melakukan gerak geri itu jangan sampai berlebih-lebihan seperti wayang orang yang bergerak ke sana ke mari, sehingga mengelikan sekali. Berdeklamasi secara wajar, tertib dan mengesankan.
CARA
MENGHAKIMI
Untuk mudahnya bagi seorang deklamator/deklamatris melengkapi dirinya dalam mempersiapkan kesempurnaan berdeklamasi, maka seorang calon harus mengetahui pula hal-hal yang menjadi penilaian hakim dalam suatu sayembara deklamasi. Yang menjadi penilaian hakim terhadap pembawa puisi atau deklamator meliputi bidang-bidang seperti berikut: A.
Untuk mudahnya bagi seorang deklamator/deklamatris melengkapi dirinya dalam mempersiapkan kesempurnaan berdeklamasi, maka seorang calon harus mengetahui pula hal-hal yang menjadi penilaian hakim dalam suatu sayembara deklamasi. Yang menjadi penilaian hakim terhadap pembawa puisi atau deklamator meliputi bidang-bidang seperti berikut: A.
PENAMPILAN/PERFORMANCE
Sewaktu pembawa puisi itu muncul di atas pentas, haruslah diperhatikan lebih dahulu hal pakaian yang dikenakannya. Kerapian memakai pakaian, keserasian warna dan sebagainya akan menambahkan angka bagi si pembawa puisi. Tentu saja penilaian pakaian ini bukan terletak pada segi mewah tidaknya pakaian itu, tetapi dalam hal kepantasan serta keserasiannya. Kerana itu, perhatikanlah pakaian lebih dahulu sebelum tampil di atas pentas. Hindarikan diri dari kecerobohan serta ketidakrapian berdandan.
Sewaktu pembawa puisi itu muncul di atas pentas, haruslah diperhatikan lebih dahulu hal pakaian yang dikenakannya. Kerapian memakai pakaian, keserasian warna dan sebagainya akan menambahkan angka bagi si pembawa puisi. Tentu saja penilaian pakaian ini bukan terletak pada segi mewah tidaknya pakaian itu, tetapi dalam hal kepantasan serta keserasiannya. Kerana itu, perhatikanlah pakaian lebih dahulu sebelum tampil di atas pentas. Hindarikan diri dari kecerobohan serta ketidakrapian berdandan.
B.
INTONASI/TEKANAN KATA DEMI KATA
Baris demi baris dalam puisi, sudah tentu tidak sama cara memberikan tekanannya. Ini bergantung kepada kesanggupan dipembawa puisi menafsirkan tiap-tiap kata dalam hubungannya dengan kata lainnya. Sehingga ia menimbulkan suatu pengungkapan isi kalimat yang tepat. Kesanggupan sipembawa puisi memberikan tekanan-tekanan yang sesuai pada tiap kata yang menciptakan lagi kalimat pada baris-baris puisi, akan memudahkan mencapai angka tertinggi dalam segi intonasi.
Baris demi baris dalam puisi, sudah tentu tidak sama cara memberikan tekanannya. Ini bergantung kepada kesanggupan dipembawa puisi menafsirkan tiap-tiap kata dalam hubungannya dengan kata lainnya. Sehingga ia menimbulkan suatu pengungkapan isi kalimat yang tepat. Kesanggupan sipembawa puisi memberikan tekanan-tekanan yang sesuai pada tiap kata yang menciptakan lagi kalimat pada baris-baris puisi, akan memudahkan mencapai angka tertinggi dalam segi intonasi.
C.
EKSPRESI/KESAN WAJAH
Kemampuan sipembawa puisi dalam menemukan erti dan tafsiran yang tepat dari kata demi kata pada tiap baris kemudian pada kelompok bait demi bait puisi akan terlihat pada kesan air muka atau wajahnya sendiri. Ada kalanya seorang pembawa puisi tidak menghayati isi dan jiwa tiap baris puisi dalam sebuah bait, sehingga antara kalimat yang diucapkan dan airmuka yang diperlihatkan tampak saling bertentangan.
Kemampuan sipembawa puisi dalam menemukan erti dan tafsiran yang tepat dari kata demi kata pada tiap baris kemudian pada kelompok bait demi bait puisi akan terlihat pada kesan air muka atau wajahnya sendiri. Ada kalanya seorang pembawa puisi tidak menghayati isi dan jiwa tiap baris puisi dalam sebuah bait, sehingga antara kalimat yang diucapkan dan airmuka yang diperlihatkan tampak saling bertentangan.
Jadi,
penghayatan itu sangat penting dan ia harus dipancarkan pada sinar wajah si
pembawa puisi. Misalnya sebuah bait dalam puisi yang bernada sedih haruslah
digambarkan oleh sipembawa puisi itu melalui airmukanya yang sedih dan bermuram
durja. D.
APRESIASI/PENGERTIAN
PUISI
Seorang pembawa puisi akan dinilai mempunyai pengertian terhadap sesuatu puisi, manakala ia sanggup mengucapkan kata demi kata pada tiap baris puisi disertai kesan yang terlihat pada airmukanya. Jika tidak berhasil, dikatakannya sipembawa puisi itu belum mempunyai apresiasi atau apresiasinya terhadap puisi itu agak kurang. Dalam istilah umumnya apresiasi diterjemah lebih jauh lagi sebagai penghayatan.
Seorang pembawa puisi akan dinilai mempunyai pengertian terhadap sesuatu puisi, manakala ia sanggup mengucapkan kata demi kata pada tiap baris puisi disertai kesan yang terlihat pada airmukanya. Jika tidak berhasil, dikatakannya sipembawa puisi itu belum mempunyai apresiasi atau apresiasinya terhadap puisi itu agak kurang. Dalam istilah umumnya apresiasi diterjemah lebih jauh lagi sebagai penghayatan.
Seorang
pendeklamator yang baik/ia harus menghayati makna dan isi puisi yang mahu
dideklamasikan dan tanpa menghayatinya, maka sudah tentu persembahannya bakal
hambar, lesu dan tak bertenaga.
E.
MIMIK/ACTION
Mimik atau action dalam sebuah deklamasi puisi sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan suasana pembacaan puisi. Seorang pembawa puisi yang berhasil ia akan mengemukan sesuatu action atau mimik itu sesuai dengan perkembangan kata demi kata dalam tiap baris dan tidak bertentangan dengan jiwa dan isi kata-kata kalimat dalam puisi.
Mimik atau action dalam sebuah deklamasi puisi sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan suasana pembacaan puisi. Seorang pembawa puisi yang berhasil ia akan mengemukan sesuatu action atau mimik itu sesuai dengan perkembangan kata demi kata dalam tiap baris dan tidak bertentangan dengan jiwa dan isi kata-kata kalimat dalam puisi.
Terjadinya
kontradiksi antara apresiasi dan action menimbulkan kesan yang mungkin bisa
menjadi bahan tertawaan penonton, Hal ini harus dipelajari sebaik-baiknya oleh
sipembawa puisi. Tanpa hal itu, ia tak mungkin bisa mndapatkan angka terbaik
dalam pembawaan puisi.
Sebagi
contoh: ketika dipembawa sajak menyebut “dilangit tinggi ada bulan” tetapi
mimik kedua belah tangan menjurus ke bumi, Hal ini akan menimbulkan bahan
tertawaan bagi penonton, mana mungkin ada bulan di bumi, tentu hal itu tidak
mungkin sama sekali. Betapapun bulan selalu ada di langit. Inilah yang dimaksud
betapa pentingnya pembawa sajak menguasai apresiasi puisi, sehingga dapat
menciptakan mimik yang sesuai dengan keadaan isi dan jiwa puisi itu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar